BERITAJABAR.ID, Jakarta — Komisi III DPR RI membuka pintu partisipasi publik secara luas dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Keterlibatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk berdialog di Kompleks Parlemen, dinilai sebagai bukti nyata komitmen DPR terhadap transparansi legislasi.
Pengamat Komunikasi Politik Silvanus Alvin mengapresiasi langkah Komisi III sebagai bentuk kolaborasi publik.
“Saya melihat ini sebagai bentuk perbaikan diri yang konstruktif dan belajar dari pengalaman pembahasan RUU sebelumnya,” ujarnya.
Menurut Alvin, keterlibatan masyarakat sipil tidak hanya memperkuat legitimasi undang-undang, tetapi juga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap DPR sebagai lembaga perwakilan.
“RUU yang disusun dengan partisipasi publik akan lebih mudah diterima dan diimplementasikan,” tegasnya.
Sikap terbuka Komisi III yang juga memperbolehkan media meliput dan masyarakat menyampaikan kritik langsung pun menuai apresiasi.
“Ini menunjukkan semangat keterbukaan dan akuntabilitas. DPR sedang memberi contoh praktik legislasi yang ideal,” kata Alvin, yang juga dosen di salah satu universitas swasta Jakarta.
Sementara itu, Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI, Prof. Deding Ishak, menyambut positif rancangan RKUHAP terbaru yang tidak mencabut kewenangan institusi penegak hukum seperti Kejaksaan dan KPK.
“Kami lega, karena sinergi antara Kejaksaan dan KPK sangat penting untuk mendukung komitmen Presiden Prabowo dalam memberantas korupsi,” tegasnya.
Prof Deding menilai bahwa pemberantasan korupsi harus menjadi arus utama kebijakan negara. Ia mendorong sinergi lintas lembaga, serta kerja sama ulama dan umara dalam penindakan dan pencegahan korupsi.
“Jangan hanya bicara hukuman mati, kami mulai dengan memiskinkan koruptor lewat perampasan aset,” tambahnya.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, juga menegaskan bahwa RKUHAP tidak mencabut kewenangan penyidikan dari lembaga penegak hukum mana pun.
“Fungsi penyidikan Kejaksaan dan KPK tetap berjalan sebagaimana mestinya,” ujarnya.
RUU KUHAP yang tengah digodok ini diharapkan menjadi pedoman acara pidana yang modern, adil, dan selaras dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang akan berlaku pada tahun 2026 mendatang. Komitmen DPR untuk inklusif dalam pembahasan RUU ini pun dianggap sebagai fondasi penting dalam membangun kepercayaan masyarakat dan memperkuat sistem hukum nasional.