BERITAJABAR.ID, SUMBAR — Aksi pelarangan ibadah yang disertai dengan adanya kekerasan terhadap jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu (27/7), menuai kecaman keras dari berbagai pihak.
Pengecaman tersebut datang dari beragam pihak seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), SETARA Institute, hingga Kepolisian Daerah Sumatera Barat.
Banyak pihak yang menilai bahwa kejadian tersebut merupakan suatu bentuk tindak intoleransi yang sangat berbahaya serta mampu mengancam keutuhan bangsa.
Menangapi adanya pelarangan ibadah yang disertai dengan kekerasan ini, Ketua Umum PGI, Pendeta Jacky Manuputty, menyampaikan kekecewaan mendalam atas seluruh tindakan yang mencerminkan sikap intoleransi tersebut, terutama karena dilakukan di hadapan anak-anak.
“Tindakan tersebut sangat menyesakkan,” katanya.
“Aksi teror disertai kekerasan yang dilakukan untuk menghentikan kegiatan pelayanan kerohanian di depan anak-anak, tentunya akan menimbulkan trauma berkepanjangan dalam pertumbuhan mereka,” ungkap Jacky.
Dengan adanya fenomena tersebut, maka menurut Pendeta Jacky yakni sikap intoleransi masih saja terus mengakar dengan kuat di tengah masyarakat, meski sejatinya Indonesia dibangun atas dasar keberagaman.
“Indonesia adalah rumah besar yang dibangun oleh keberagaman, dijaga oleh persatuan, dan disatukan oleh rasa hormat terhadap perbedaan,” ujarnya.
Ia menilai bahwa seluruh perilaku yang mengarah pada tindak intoleran sebagai racun yang mampu menggerogoti keutuhan bangsa
Lantaran intoleransi merupakan hal yang sangat berbahaya, maka Ketum PGI tersebut kemudian menekankan betapa pentingnya kehadiran negara dalam hal ini untuk dapat menjamin terlaksananya hak konstitusional seluruh warga dalam menjalankan ibadah.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyebut kejadian tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap kebebasan beragama.
“Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dan nyatanya merupakan tindak pidana yang melanggar hukum dan konstitusi,” tegas Hendardi.
Ia menuntut aparat negara, khususnya pemerintah daerah, untuk tidak permisif dan tidak mempermasalahkan permasalahan tersebut hanya sekedar kesalahpahaman.
Wakapolda Sumatera Barat, Brigjen Pol. Solihin, menegaskan komitmen penegakan hukum terhadap pelaku intoleransi.
“Tidak ada ruang bagi pelaku intoleransi di wilayah Sumatera Barat. Kami akan menindak tegas dan memproses hukum para pelaku sesuai aturan yang berlaku,” ujarnya.
Ia juga mengimbau masyarakat agar tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi.
Tindakan intoleran bukan hanya mencederai kebebasan beragama, tetapi juga mengancam jalinan persatuan bangsa yang telah dibangun melalui perjuangan panjang. (*)
[edRW]