- Waspada Provokasi Kelompok ULMWP, Dalang Banyak Kericuhan Pemecah Belah Bangsa
- Kawal Ruang Digital, Pemuda Berperan Penting Wujudkan Pilkada Damai
- Analis Ungkap Pasar dan Ekonomi Nasional Sambut Baik Penetapan Hasil Pemilu 2024
- Jaga Kerukunan Pasca Pemilu dan Jelang Hari Buruh
- Tindak Tegas OPM Pengganggu Kedamaian Tanah Papua
- UU Cipta Kerja Dibutuhkan untuk Mengakomodasi Kepentingan Buruh
- Papua Bagian NKRI Kunci Wujudkan Cita-Cita Kemerdekaan Bangsa
- Jaga Situasi Kondusif Jelang Mayday dan Pasca Pemilu
- Demokrat dan PAN Resmi Usung Supian Suri Calon Wali Kota Depok
- Peran Penting Wartawan Dukung Publikasi Keberhasilan Pembangunan Papua
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan pengaduan kasus anak yang menjadi korban radikalisme dan terorisme mengalami pasang surut. Susanto menyatakan kompleksitas penanganan masalah itu semakin berat seperti modus doktrinisasi yang semakin tidak mudah untuk dideteksi.
Susanto mengatakan, bahwa jaringan terorisme menggunakan pola-pola baru berbasis cyber dan pola lain.
KPAI menyebut bahwa kondisi tersebut menjadi tantangan serius dalam menangani anak yang menjadi korban terpapar paham radikal dan terorisme. Menurutnya, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dalam merehabilitasi masih menjadi kendala.
Di zaman digital seperti sekarang, sudah bukan rahasia umum apabila melihat seorang anak yang aktif, bahkan mahir menggunakan gadget atau smartphone untuk main game serta menjelajahi internet. Namun, aktifitas sang anak tentunya harus mendapatkan pengawasan ekstra orangtua dalam menggunakan teknologi.
Karena, apabila orangtua lalai dalam mengawasi anak-anak ketika menggunakan gadget, maka dikhawatirkan anak-anak akan dengan mudah terpapar paham radikal.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar mengatakan, paham radikal dan terorisme bisa ditularkan dari berbagai informasi yang didapat secara bebas melalui media sosial, mesin pencarian seperti google, dan bahkan youtube.
Nahar menuturkan, Youtube mudah sekali membuat kita terpengaruh. Karena ada visual dan audionya. Kalau anak sering nonton YouTube, apalagi tidak ada pengawasan dari orangtua, maka sangat mudah terpapar paham radikal.
Ia menambahkan, pada usia anak-anak mulai 5-12 tahun sangat cepat menangkap informasi tanpa mengkroscek informasi lebih lanjut yang menjadikan paham radikal tertanam dengan mudah.
Untuk itu, agar menangkap paham ekstrimisme, Nahar menyarankan agar keluarga berperan aktif dalam membesarkan anak dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
Dirinya berujar, orang tua sudah semestinya mengawasi, memberikan mereka kasih sayang dan selalu jalin komunikasi yang baik dengan anak. Lalu, berikan pengetahuan agama dengan benar agar mereka tidak menyimpang serta menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang juga diriwayatkan kitab suci.
Tidak hanya itu, dalam kesempatan tersebut Nahar juga meminta agar masyarakat dan seluruh instansi yang ada agar mampu melindungi anak yang terpapar paham radikalisme.
Tidak hanya mencegah, kita juga minta agar secara bersama kita bisa memulihkan anak-anak yang sudah terkena paham radikal. Jangan dijauhi, atau bahkan dimusuhi, kita harus bantu mereka dengan nilai-nilai positif agar bisa kembali ke jalan yang benar.
Orang tua harus terus senantiasa memantau bahkan ikut terlibat dalam mengawasi pembelajaran anak di sekolah. Sehingga anak dapat terawasi dan terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur-unsur radikalisme baik dalam buku belajar anak, maupun pada pengajar yang menebar paham radikalisme dalam lingkup sekolah.
Apalagi pada anak usia dini, yaitu masa pertumbuhan emas dimana sangat mudah untuk mendoktrin pemahaman anak melalui sesuatu yang ia lihat. Otak anak dapat merekam apapun yang ia lihat. Sehingga bukan tidak mungkin apabila orang tua yang tidak mampu menangkal unsur radikalisme sedini mungkin, anak akan mudah menangkap paham radikalisme melalui apa yang dilihatnya.
Untuk itu orangtua hendaknya selektif dalam memberikan tontonan pada anak. Hindari konten yang mengandung unsur kekerasan.
Salah satu upaya mencegah atau membentengi anak dari paham radikal adalah dengan menstimulus sikap cinta tanah air sejak dini, mengingat pada masa ini sangat mudah untuk mengintervensi anak. Melalui simulasi-stimulai seperti nyanyian-nyanyian yang mengandung unsur nasionalisme.
Selain itu, hindari anak-anak dari isu yang membenturkan pancasila dengan agama. Paham radikal bersifat ekstrem yang berusaha merongrong nilai-nilai Pancasila. Peran serta orangtua dan guru sangat penting dalam mengontrol pribadi anak. Memberikan jawaban bijak atas pertanyaan-pertanyaan anak terkait persoalan agama maupun yang lainnya.
Awal dari sikap radikal adalah munculnya sikap intoleran alias tidak menghargai perbedaan sesama manusia. Mengajarkan anak untuk saling menghargai perbedaan menjadi hal yang penting karena manusia sendiri diciptakan berbeda-beda.
Perkembangan teknologi memungkinkan konten radikal tersebar dengan bebas. Anak-anak sudah sepantasnya mendapatkan perlindungan dari segala konten yang berunsur kekerasan ataupun radikal.
Oleh : Deka Prawira ) Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini
TAGS: | hukum |
Berita Terkait
Write a Facebook Comment
Leave a Comments
#sekilas info
Trump dikecam : Pasien virus Corona agar disuntik disinfektan agar sembuh.
25 Apr 2020
#sekilas info
Nilai Pemerintah RI Lambat Cegah Corona, FKM UI: Corona Masuk Sejak Januari
19 Apr 2020
#sekilas info
Update Covid-19 Per Tgl 13 April 2020, Total Kasus Positif 4,557, Meninggal Dunia 399, Sembuh 380
13 Apr 2020
#sekilas info
Update Covid-19 Per Tanggal 13 April 2020, Total Kasus Positif 4,557, Meninggal Dunia 399, Sembuh 38
13 Apr 2020
#sekilas info
Naik 337. Update Covid-19 Tgl 9 April 2020, Total Kasus Positif 3.293, Meninggal 280, Sembuh 252
09 Apr 2020
- By AdminJabar
- 09:33:32 / 19 Apr 2024
Traveloka Paylater, Pesan Tiket Pesawat Bisa dicicil
BERITAJABAR.ID - Ketika tekanan pekerjaan semakin berat, dan mulai mempengaruhi kesehatan mental,...
Berita Populer
-
Petronas Temukan Cadangan Minyak di Wilayah Jawa T
Jumat, 16 Jul 2021 - Dilihat 876 Kali