BERITAJABAR.ID, JAKARTA – Protes besar-besaran yang terjadi di Nepal, dipimpin oleh generasi muda yang mengidentifikasi diri mereka sebagai generasi Z (Gen Z), telah menjadi sorotan dunia.
Demonstrasi ini berhasil memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur dan bahkan menyebabkan terbakarnya gedung parlemen. Protes di Nepal dipicu oleh keputusan pemerintah yang memblokir puluhan aplikasi media sosial, yang dianggap oleh generasi muda sebagai pembungkaman kebebasan berpendapat.
Pengamat Hubungan Internasional sekaligus Direktur The Pandita Institute, Agung Setiyo Wibowo, menuturkan fenomena ini lebih bisa dipahami sebagai migrasi simbolik melalui media sosial dan budaya populer, bukan sebagai peniruan langsung dari protes negara lain.
“Akar pemicunya berbeda, meskipun simbol atau ekspresi gerakan sosial bisa menyebar ke seluruh negara melalui internet,” ujar Agung.
Agung juga menegaskan bahwa setiap negara memiliki konteks politik yang unik, dan kesamaan simbol atau cara-cara protes tidak bisa langsung diartikan sebagai peniruan.
“Protes di Nepal dihapuskan pada isu-isu lokal, yang bukan merupakan salinan gerakan dari negara lain,” tegasnya.
Fenomena ini mengingatkan pada gejolak yang terjadi di Timur Tengah lebih dari satu dekade lalu, yang dikenal dengan nama Arab Spring.
Prof. Teuku Rezasyah, pakar hubungan internasional Universitas Padjadjaran, menyebut meskipun ada kesamaan dalam bentuk gerakan rakyat, situasinya saat ini jauh berbeda.
“Pemerintah kini telah belajar dari pengalaman Arab Spring, di mana rakyat dengan mudah digiring oleh berbagai kelompok kepentingan,” kata Prof. Rezasyah.
Menurutnya, perbedaan signifikan antara Arab Spring dan gejolak di Nepal adalah peningkatan sistem pengawasan dalam negeri yang lebih baik oleh banyak negara.
“Pemerintah sekarang lebih siap menangani potensi yang didistribusikan. Banyak yang sudah mempersiapkan diri dengan lebih baik, baik dari sisi pengawasan domestik maupun pemahaman terhadap potensi yang didistribusikan,” imbuh Prof. Rezasyah.
Krisis yang terjadi di Nepal menunjukkan bagaimana rangsangan dapat melemahkan ketegangan sosial dan menyatukan persatuan. Masyarakat Indonesia harus tetap waspada terhadap upaya-upaya yang berpotensi memecah belah.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang bertujuan memecah belah bangsa.
“Polri siap mengawali masyarakat yang hendak menyampaikan pendapatnya di muka umum. Namun, jangan sampai kegiatan tersebut diprovokasi sehingga merugikan masyarakat dan menggagalkan pertumbuhan ekonomi,” kata Listyo.
Krisis yang terjadi di Nepal seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Masyarakat Indonesia harus tetap waspada dan tidak mudah terprovokasi. Di era keterbukaan informasi, penting bagi kita untuk lebih cerdas dalam menyikapi setiap dinamika politik dan menjaga persatuan bangsa agar Indonesia dapat terus maju dan berdaulat.
(*/rls)