Hilirisasi Nikel Hijau Dorong Pertambangan Berkelanjutan

Berita1722 Views

BERITAJABAR.ID, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pemerintah akan terus mendorong hilirisasi nikel dengan pendekatan hijau guna mendukung pertambangan berkelanjutan yang ramah lingkungan dan mematuhi standar internasional.

“Kami ke depan akan mendorong hilirisasi dengan baik, hilirisasi yang benar-benar hijau, yang bisa diterima di luar negeri,” ujarnya.

Pernyataan ini menanggapi usulan moratorium izin penambangan dan smelter nikel baru yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyusul kelebihan pasokan nikel di pasar global.

Bahlil menyambut baik masukan tersebut, namun menekankan bahwa keputusan akhir tetap ada di tangan pemerintah dengan mempertimbangkan arah hilirisasi berkelanjutan.

Saran seperti tadi silakan saja, tapi nanti kami dari pemerintah yang akan memutuskan, ucap Bahlil.

Kementerian ESDM telah menyusun strategi pengelolaan harga mineral dan batu bara (minerba), termasuk penyesuaian produksi, penetapan harga patokan, serta pengawasan terhadap praktik penambangan. Di sisi lain, semangat hilirisasi hijau juga tercermin dalam Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional yang disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Bappenas, Leonardo AAT Sambodo, mengatakan Indonesia menargetkan penurunan emisi dari industri nikel hingga 81 persen pada tahun 2045.

“Sebagai produsen 60 persen nikel dunia, Indonesia mempunyai tanggung jawab besar untuk mendorong industri nikel yang rendah emisi dan berdaya saing tinggi. Ini menjadi bagian dari strategi menuju Net Zero Emissions sebelum tahun 2060,” ujar Leonardo.

Peta jalan ini telah melibatkan lebih dari 30 perusahaan tambang dan smelter nikel di Sulawesi dan Maluku Utara, serta 15 kementerian/lembaga dan pelajar. Empat strategi utama yang digunakan meliputi efisiensi energi dan material, penggantian bahan bakar, material substitusi, serta penggunaan listrik rendah karbon—yang dinilai sebagai prioritas karena sumber emisi terbesar berasal dari PLTU captive.

“Dengan memanfaatkan potensi energi baru dan terbarukan seperti surya, angin, air, biomassa, dan hidrogen hijau, industri nikel dapat mengurangi ketergantungan pada batu bara,” tambahnya.

Upaya hilirisasi hijau ini bukan hanya strategi teknis, melainkan agenda strategi nasional untuk menjadikan Indonesia pemimpin global dalam produksi nikel yang bertanggung jawab. Senior Climate Manager WRI Indonesia, Egi Suarga, menyebut jika tidak dilakukan intervensi, emisi industri nikel nasional dapat melonjak hingga 86 persen pada tahun 2045.

“Penting untuk membentuk kebijakan harga energi rendah karbon yang kompetitif, serta menetapkan standar nikel hijau Indonesia agar proses produksi mengacu pada penggunaan energi bersih dan batas emisi gas rumah kaca,” ujar Egi.

[wR]