Aparat Bongkar Jaringan Buzzer Konten Negatif, Masyarakat Wajib Jernih Terima Informasi

Berita6 Views

BERITAJABAR.ID – Gelombang narasi negatif yang belakangan ini beredar di tengah masyarakat dan berujung pada adanya narasi provokasi mengenai Revisi Undang-Undang TNI semakin masif beredar di ruang digital.

Pola penyebaran narasi negatif tersebut ternyata tidak lepas dari upaya terorganisasi yang secara sistematis memang berusaha membentuk opini publik demi tujuan tertentu dari pihak pembuat hoaks itu.

Ironisnya, sebagian besar narasi tersebut muncul bukan dari ruang diskusi akademik yang sahih, melainkan justru dari jaringan yang terlibat dalam kasus hukum besar yang sudah jelas sangat merugikan negara hingga sebesar triliunan rupiah.

Munculnya nama Marcella Santoso sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan terkait korupsi ekspor CPO kemudian juga membuka tabir permainan opini di balik seruan petisi Revisi UU TNI dan propaganda “Indonesia Gelap”.

Marcella bukan sekadar advokat, tetapi aktor penting dalam distribusi konten negatif yang menyasar institusi negara, termasuk Tentara Nasional Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.

Pengakuannya di hadapan publik menampilkan bagaimana narasi-narasi tersebut tidak lahir dari niat konstruktif, melainkan sebagai bagian dari skema proses hukum yang sedang berjalan.

Tentara Nasional Indonesia melalui Kepala Pusat Penerangan Mayjen Kristomei Sianturi menanggapi dengan tegas fenomena tersebut. Ia menegaskan bahwa TNI akan berdiri di garis terdepan dalam mendukung penegakan hukum, terutama pada saat stabilitas dan stabilitas nasional dipertaruhkan oleh penyebaran informasi seputar.

Sebagai lembaga penjaga kedaulatan, TNI memahami sepenuhnya bahwa opini publik yang digiring melalui konten provokatif dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara.

Langkah TNI memperkuat sinergi dengan kepolisian, kejaksaan, dan instansi lainnya menandai komitmen untuk menjamin transparansi hukum. Tak hanya itu, kerja sama ini juga bertujuan mengungkap jaringan yang sengaja menciptakan suasana ketidakpercayaan terhadap proses legislasi revisi UU TNI.

Penegakan hukum yang berjalan objektif dan akuntabel menjadi instrumen penting untuk menghambat penyebaran fitnah yang sengaja dibuat demi menutupi kepentingan sekelompok elit.

Sementara itu, Kejaksaan Agung melalui Direktur Penyidikan Abdul Qohar mengonfirmasi bahwa narasi-narasi terkait RUU TNI dan isu Indonesia Gelap memang ditemukan dalam barang bukti elektronik milik para tersangka.

Meski tidak menjelaskan secara rinci isi isinya, Qohar menegaskan bahwa narasi tersebut bukan bagian dari kritik yang bertanggung jawab, melainkan alat untuk menggagalkan proses penyidikan terhadap kasus korupsi. Fakta ini menunjukkan betapa besarnya motif manipulatif di balik konten-konten yang menyerang TNI dan pemerintah.

Penelusuran terhadap aliran dana mengarah pada jaringan buzzer dan media bayangan yang diduga turut serta menyebarkan konten provokatif. Salah satu tersangka, Adhiya Muzakki, diketahui memimpin lebih dari 150 buzzer dan menerima hampir Rp 900 juta untuk menjalankan operasi penyebaran konten negatif.

Ia tidak bekerja sendiri. Rekan-rekannya seperti Tian Bahtiar dan Junaedi Saibih juga diduga mengorganisasi kampanye digital dan aksi massa untuk menciptakan persepsi buruk terhadap lembaga penegak hukum dan pemerintah. Tidak hanya di ruang daring, narasi tersebut juga dibawa ke forum-forum luring seperti seminar dan demonstrasi yang diarahkan agar mendapat sorotan media.

Keterlibatan Marcella Santoso dalam jaringan tersebut membuktikan bahwa opini publik dapat dengan mudah dimanipulasi bila tidak disaring secara bijak. Ia menyatakan penyesalan dan mengakui kelalaiannya karena membiarkan timnya menyusun konten tanpa pengecekan memadai. Namun, dampak dari tindakannya telah terlanjur menyebar, menggiring banyak orang mempercayai narasi-narasi yang tidak memiliki dasar valid.

Masyarakat perlu menyadari bahwa Revisi Undang-Undang TNI sejatinya merupakan langkah strategis dalam menyesuaikan peran TNI di era tantangan baru, bukan upaya militerisasi sipil sebagaimana yang digembar-gemborkan sebagian pihak.

TNI selama ini menjalankan peran pertahanan negara secara profesional dan berdasar konstitusi. Pelebaran tugas dan fungsi TNI yang diatur dalam revisi tersebut tetap berada dalam koridor hukum, bukan mengancam demokrasi, seperti yang coba dibangun oleh narasi menyesatkan.

Justru upaya pembusukan opini tentang RUU TNI membuktikan adanya pihak-pihak tertentu yang merasa terganggu oleh kehadiran TNI dalam sistem penegakan hukum dan ketahanan nasional.

Mereka menggunakan instrumen digital sebagai senjata propaganda demi menyudutkan kebijakan pemerintah dan merusak stabilitas publik. Isu ini harus dipahami sebagai upaya terstruktur untuk memperlemah fondasi pertahanan negara melalui perang opini yang dimainkan oleh elite-elite berkepentingan.

TNI telah menunjukkan kedewasaan sikap dengan tidak terprovokasi oleh narasi negatif tersebut. Fokus pada penegakan hukum, sinergi antarlembaga, dan dukungan terhadap kejaksaan menjadi bukti bahwa militer Indonesia tetap berpijak pada semangat profesionalisme.

Dalam hal ini, peran masyarakat menjadi penting: menyeleksi informasi secara kritis, tidak menyebarluaskan kabar yang belum diverifikasi, dan tidak mudah tersulut oleh narasi yang tampak populis namun tidak faktual.

Langkah tegas aparat penegak hukum terhadap para aktor di balik narasi negatif UU TNI perlu mendapat dukungan luas. Narasi-narasi manipulatif bukan sekadar gangguan wacana, tetapi ancaman nyata terhadap ketertiban umum dan keutuhan negara.

Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap informasi menyesatkan harus menjadi bagian dari kedewasaan berdemokrasi, terutama ketika isu yang dimainkan menyangkut kedaulatan nasional dan integritas institusi negara. (*)

Oleh : Kurniawan Santoso )* Penulis adalah pengamat media sosial