BERITAJABAR.ID, JAKARTA – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah disahkan dalam sidang paripurna DPR RI, setelah melalui pembahasan yang panjang dan menerima berbagai masukan dari masyarakat.
Anggota Komisi I DPR RI, Farah Puteri Nahlia, menegaskan bahwa revisi ini tetap menjaga supremasi sipil dan tidak membuka peluang bagi kembalinya Dwifungsi TNI.
“Kami memahami kekhawatiran masyarakat, namun saya tegaskan bahwa revisi ini tidak akan membawa Indonesia kembali ke era Dwifungsi TNI,” ujar Farah.
Menurutnya, setiap pasal dalam revisi UU TNI telah dirancang agar tetap berada dalam koridor demokrasi dan mempertahankan supremasi sipil.
“RUU ini secara jelas mendefinisikan bahwa prajurit aktif tidak bisa menduduki jabatan di lembaga luar yang memang memerlukan keahlian perlindungan dan keamanan. Tidak ada ruang bagi dominasi TNI dalam birokrasi sipil,” lanjutnya.F
Arah menambahkan bahwa otoritas sipil tetap menjadi pemegang kendali utama dalam kebijakan pemeliharaan dan keamanan.
“Kita telah membangun reformasi TNI selama lebih dari dua dekade, dan tidak ingin ada kemunduran. Prinsip supremasi sipil tetap menjadi fondasi utama dalam revisi ini,” tegasnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, juga menepis kekhawatiran mengenai potensi kembalinya Dwifungsi TNI.
“Kekhawatiran soal Dwifungsi ABRI atau Dwifungsi TNI tidak akan terjadi,” ujarnya kepada wartawan.
Ia menambahkan bahwa suara masyarakat, termasuk pelajar, telah didengar oleh pemerintah dan DPR.
“Jika kita melihat isi revisi UU TNI, sama sekali tidak ada indikasi kembalinya Dwifungsi TNI,” katanya.
Supratman menjelaskan bahwa revisi ini tetap mengedepankan supremasi sipil dengan membatasi hanya 14 kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Selain itu, bagi prajurit yang ingin menduduki jabatan sipil di luar batas tersebut, mereka harus mengundurkan diri dari dinas militer.
Sementara itu, Ketua Umum GP Ansor, Addin Jauharuddin, menilai revisi UU TNI ini masih sejalan dengan prinsip reformasi dan profesionalisme TNI.
“Landasan hukum yang membatasi peran TNI dalam politik tetap terjaga, termasuk TAP MPR Nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000. Ini sejalan dengan cita-cita Reformasi 1998,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa mekanisme kontrol masyarakat saat ini sudah semakin kuat, sehingga tidak ada alasan untuk khawatir.
“Era keterbukaan memungkinkan setiap orang mengawasi pemerintahan. Supremasi sipil di Indonesia semakin matang,” tutupnya. [^]