BERITAJABAR.ID – Penetapan hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi penanda bagi tuntasnya seluruh proses hukum atas sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa daerah.
Dengan adanya penetapan hasil PSU oleh MK, maka sudah tidak ada ruang lagi untuk memperpanjang perdebatan yang justru dapat terus memicu perpecahan di tengah masyarakat sendiri.
Oleh karena itu, hendaknya semua pihak harus bisa menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi, yakni dengan cara menerima apapun dan bagaimanapun hasil akhir dari penetapan Pemungutan Suara Ulang yang sah tersebut secara utuh, sebagai upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 24/PHPU.BUP-XXIII/2025 secara tegas menyatakan bahwa segala bentuk persoalan yang timbul sebelum dilaksanakannya PSU Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Empat Lawang, sama sekali sudah tidak lagi relevan untuk terus dipermasalahkan.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan bahwa perintah untuk menggelar PSU dengan melibatkan dua pasangan calon (paslon) adalah bentuk dari koreksi konstitusional terhadap proses yang sudah berlangsung sebelumnya. Dengan dilaksanakannya PSU yang sah, maka seluruh tahapan yang dilakukan sebelumnya otomatis juga telah gugur secara hukum.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah juga menyatakan bahwa dalil Pemohon yang mempermasalahkan kembali proses sebelum putusan MK nyatanya sama sekali tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Mahkamah telah mengesampingkan keberatan tersebut karena objek sengketa telah berubah, sehingga sudah tidak dapat lagi dijadikan landasan untuk menolak hasil PSU. Bahkan, Mahkamah menyatakan bahwa dugaan pelanggaran etik oleh Bawaslu Empat Lawang yang sempat diajukan Pemohon tidak dapat diproses lebih lanjut karena tidak didukung oleh keputusan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Tanpa keputusan DKPP, Mahkamah tidak memiliki dasar untuk mengabulkan dalil pelanggaran etik tersebut.
Lebih jauh, Mahkamah menekankan pentingnya partisipasi dan kesadaran politik bagi seluruh masyarakat dalam mengawal segenap rangkaian proses pelaksanaan PSU. Kecurigaan terhadap manipulasi surat pemberitahuan pemungutan suara tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyelenggara.
Mahkamah justru melihat bahwa keterlibatan aktif warga menjadi hal yang sangat penting dalam memastikan agar hak pilih tetap terlindungi dengan lebih maksimal. Dalam ketentuannya, pemilih yang belum menerima undangan tetap memiliki hak untuk memilih dengan menunjukkan identitas resmi seperti e-KTP. KPU sendiri telah mengeluarkan instruksi dan surat imbauan untuk memastikan supaya partisipasi masyarakat dapat dimaksimalkan selama PSU berlangsung.
Mahkamah Konstitusi juga menolak gugatan hasil PSU dari dua pasangan calon dalam Pilkada Kabupaten Tasikmalaya. Dalam perkara Nomor 321 dan 324, Hakim Ketua MK Suhartoyo menegaskan bahwa kedua Pemohon ternyata tidak memiliki kedudukan hukum yang sah untuk mengajukan permohonan.
Permohonan mereka dinyatakan tidak dapat diterima karena sama sekali tidak memenuhi syarat, baik itu secara formil maupun materiil. Mahkamah tidak menemukan alasan hukum apapun yang dapat membenarkan dalil-dalil yang diajukan oleh pihak Pemohon, termasuk klaim mereka mengenai kaburnya proses pemungutan suara.
Dalam pandangan Mahkamah, kejelasan dan keabsahan proses PSU di Kabupaten Tasikmalaya telah memenuhi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, upaya untuk menggugat hasil tersebut tanpa dasar hukum yang kuat justru berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu.
Ketua KPU Kabupaten Tasikmalaya Ami Imran Tamami menyampaikan kesiapan lembaganya untuk segera menetapkan pasangan calon terpilih pasca keputusan Mahkamah Konstitusi. Ia menyatakan bahwa keputusan MK yang menolak permohonan kedua perkara memberikan landasan hukum yang kuat bagi KPU untuk melangkah ke tahap akhir penetapan hasil Pilkada. KPU akan menunggu surat resmi dari Mahkamah Konstitusi dan KPU RI untuk menindaklanjuti proses penetapan tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, PSU di berbagai daerah harus dilihat sebagai momentum memperkuat integritas demokrasi lokal. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) mendorong seluruh pasangan calon dan para pendukungnya untuk bersikap dewasa dan legawa menerima hasil yang telah ditetapkan secara sah.
Kedewasaan politik ini menjadi syarat penting agar proses demokrasi tidak berakhir dengan konflik berkepanjangan, melainkan menjadi titik awal konsolidasi sosial dan pemerintahan yang stabil.
Sebagaimana ditekankan oleh KPU RI, kehati-hatian dalam setiap tahapan PSU sangat penting, terutama untuk menjaga integritas dan netralitas penyelenggara. Dari sebelas daerah yang menggelar PSU, tujuh di antaranya kembali mengajukan sengketa ke MK.
Hal ini menunjukkan masih lemahnya tradisi menerima hasil secara sportif. Maka, ajakan agar tidak ikut-ikutan membawa hasil PSU ke ranah hukum sangat relevan untuk membangun iklim demokrasi yang sehat dan beretika.
Tantangan ke depan bukan lagi soal siapa yang menang atau kalah dalam PSU, tetapi bagaimana seluruh elemen masyarakat dapat menerima hasil tersebut dengan bijaksana. Menerima hasil PSU bukan berarti menyerah, melainkan menunjukkan kematangan politik dan komitmen terhadap persatuan nasional. Penolakan tanpa dasar hanya akan menguras energi sosial dan memperbesar jarak antara rakyat dan pemimpinnya.
Maka dari itu, sudah saatnya semua pihak berhenti mempertentangkan hasil pemilu yang telah dikukuhkan oleh keputusan hukum tertinggi. Tidak ada ruang untuk sikap inkonstitusional. Yang dibutuhkan saat ini adalah kebesaran jiwa, penghormatan terhadap proses hukum, dan kesediaan untuk bersatu membangun daerah bersama pemimpin terpilih. (*)