- Proses Pemilu Berjalan Transparan, Publik Dukung Penetapan Hasil Pemilu
- BIN Bangun AMN Manado sebagai Wadah Pembinaan Pemuda, Masyarakat Sulawesi Utara Berikan Apresiasi
- Berdasarkan Fakta Sejarah, Papua Sah Jadi Bagian dari NKRI
- Pasca Putusan MK, Masyarakat Dukung Penetapan Hasil Pemilu 2024
- Pembangunan Papua Jadi Stimulus Tingkatkan Kualitas Pemuda Papua
- Mengapresiasi Keberhasilan Aparat Keamanan Lindungi Ratusan Warga Sigi dari Kejaran OPM
- KINERJA APBN 2024 TETAP TINGGI DITENGAH KETIDAKPASTIAN GLOBAL
- BIN Gandeng Akademisi dan Universitas dalam Program AMANAH Demi Tingkatkan Inovasi Pemuda
- Indonesia Tetap Kondusif Pasca Penetapan Hasil Pemilu dan Putusan Sidang MK
- Stafsus BPIP Sebut AMN Manado Tempat Kaderisasi Pemimpin Masa Depan Bangsa
- By AdminJabar
- 08 Apr 2020
Memahami Definisi Kekerasan Seksual pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
BERITAJABAR.ID - Pada bulan Januari 2020, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk ke dalam daftar program legalisasi nasional (prolegnas) tahun 2020-2024. Menariknya, website tersebut memberikan dua jenis RUU yang masuk dalam Prolegnas yaitu daftar panjang, dan daftar prioritas berdasarkan penilaian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
RUU PKS menjadi salah satu dari 50 RUU prioritas nasional pada periode tersebut. Namun, tidak seluruh kelompok masyarakat memiliki suara yang bulat mengenai RUU PKS. Meminjam istilah hukum, secara kajian sosiologis, beberapa topik sensitif menurut masyarakat masih didiskusikan sejak 17 Desember 2019 . Secara lebih lanjut, tulisan ini akan mencoba untuk membahas secara lebih lanjut definisi kekerasan seksual dalam RUU PKS yang sempat menjadi perdebatan dari sebagian kelompok masyarakat.
Untuk membedah beberapa poin tersebut, penting untuk kembali melihat mismatch yang terjadi antara definisi yang diusulkan dengan pemahaman masyarakat secara luas. Pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, definisi kekerasan seksual dijabarkan sebagai berikut “…setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik” . Berdasarkan kata yang digunakan, penulis beragumen terdapat tiga poin penting yaitu bentuk tindakan kekerasan, persetujuan (consent), serta konsekuensi-konsekuensi yang terjadi.
Secara kajian demografis, serta sosiologis, kasus kekerasan di Indonesia masih sulit untuk diketahui. Berdasarkan laporan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, sekitar 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2019. Meskipun data tersebut hanya berdasarkan laporan yang diterima oleh Komnas Perempuan, pengadilan agama, serta 239 mitra Komnas Perempuan di 33 provinsi, terdapat peningkatan 6% kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dibandingkan pada tahun sebelumnya . Data yang dikumpulkan masih belum mampu mencatat keseluruhan kasus mengingat inisiatif yang diberikan oleh lembaga terkait hanya bersifat penanganan kasus/dengan menjemput bola. Meskipun upaya tersebut dalam memberikan gambaran angka dan kasus kekerasan terhadap perempuan, namun pada saat yang sama juga berdampak terhadap kasus-kasus yang tidak dilaporkan, karena bedanya pemahaman masyarakat mengenai kekerasan seksual. Secara lebih lanjut, penting juga untuk mendiskusikan kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki yang hingga saat ini belum didiskusikan secara komprehensif pada masyarakat luas.
Keberadaan UU PKS mampu menjadi salah satu solusi untuk memunculkan kepedulian masyarakat terhadap poin-poin yang disampaikan di atas. Poin pertama pada undang-undang tersebut memberikan penjelasan yang empiris mengenai jenis kekerasan seksual yang mungkin terjadi baik pada laki-laki dan/atau perempuan. Pada poin kedua, RUU PKS memberikan penekanan pada kata persetujuan. Konsep persetujuan menjadi hal yang penting untuk dipahami secara lebih lanjut. Kompleksitas, dan lapisan (layers) dari konsep persetujuan penting untuk didiskusikan bersama dengan masyarakat. Contohnya, kekerasan seksual yang mungkin terjadi di dalam rumah tangga antara Istri atau Suami (pada keluarga konvensional). Tindakan pemaksaan atau tanpa persetujuan dalam aktivitas seksual menjadi isu yang sempat dibahas di media. Pada ranah praktis, bentuk persetujuan verbal seringkali dianggap sebagai persetujuan. Pemahaman yang baik terkait dengan konsep persetujuan menjadi potensi besar bagi RUU PKS dapat diterima oleh masyarakat luas.
Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menunjukan hasil yang baik dalam upaya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai dampak kekerasan khususnya terhadap anak. Saat ini, sudah banyak lembaga yang ikut serta dalam mengkampanyekan UU Perlindungan Anak melalui aktivitas digital dan langsung. Bukti kesuksesan UU Pelindungan Anak dapat menjadi acuan pentingnya UU PKS dalam upaya penghapusan kekerasan seksual.
Namun, proses legalisasi RUU PKS juga mendapatkan belum mendapat suara penuh dari berbagai kelompok masyarakat. Secara singkat, kelompok masyarakat melihat UU PKS menentang KUHP terkait pasal 284 mengenai perzinaan, dan UUD 1945 Pasal 29 mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika dilihat secara lebih lanjut, keberadaan UU PKS mencoba untuk memberikan definisi yang relevan terkait pemahaman tindakan kekerasan seksual, yang tidak dibahas pada KUHP pasal 284 yang hanya membahas poin perzinaan. Keberadaan dari RUU PKS dan UUD 1945 menjadi tidak relevan karena RUU PKS dianggap tidak ada pembahasan terhadap nilai ketuhanan.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan kesimpulan pentingnya untuk memahami pandangan masyarakat mengenai kekerasan seksual, serta membuka ruang diskusi lebih lanjut terkait dengan pasal-pasal yang dituliskan pada RUU PKS. Oleh sebab itu, penting juga untuk masyarakat agar ikut serta dalam proses perumusan RUU PKS sehingga definisi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi masyarakat, terutama dalam konteks sosial dan budaya Indonesia.
Oleh : Ghivo Pratama (Peneliti, Alumni International Institute of Social Studies)
TAGS: | nasional |
Berita Terkait
Write a Facebook Comment
Leave a Comments
#sekilas info
Trump dikecam : Pasien virus Corona agar disuntik disinfektan agar sembuh.
25 Apr 2020
#sekilas info
Nilai Pemerintah RI Lambat Cegah Corona, FKM UI: Corona Masuk Sejak Januari
19 Apr 2020
#sekilas info
Update Covid-19 Per Tgl 13 April 2020, Total Kasus Positif 4,557, Meninggal Dunia 399, Sembuh 380
13 Apr 2020
#sekilas info
Update Covid-19 Per Tanggal 13 April 2020, Total Kasus Positif 4,557, Meninggal Dunia 399, Sembuh 38
13 Apr 2020
#sekilas info
Naik 337. Update Covid-19 Tgl 9 April 2020, Total Kasus Positif 3.293, Meninggal 280, Sembuh 252
09 Apr 2020
- By AdminJabar
- 09:33:32 / 19 Apr 2024
Traveloka Paylater, Pesan Tiket Pesawat Bisa dicicil
BERITAJABAR.ID - Ketika tekanan pekerjaan semakin berat, dan mulai mempengaruhi kesehatan mental,...
Berita Populer
-
Petronas Temukan Cadangan Minyak di Wilayah Jawa T
Jumat, 16 Jul 2021 - Dilihat 894 Kali